Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan: Sebuah Review dan Pembahasan Singkat.

Cornelius Prabhaswara
4 min readNov 24, 2020

Teks berikut digunakan sebagai tugas mata kuliah Pengantar Ilmu Budaya oleh penulis, dan belum dikoreksi oleh dosen maupun Universitas.

Segala opini adalah opini penulis dan penulis saja.

Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan adalah buku yang ditulis oleh Irwan Abdullah, Guru Besar Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada. Buku ini secara garis besar menuturkan bagaimana budaya” dimaknai dan dipahami, serta diperlakukan dalam konteks kebangsaan Republik Indonesia.

Sebagai bangsa yang plural, Indonesia tidaklah memiliki suatu budaya yang dimiliki bersama oleh seluruh penduduknya. Perbedaan, adalah isu utama yang dihadapi Indonesia sebagai sebuah bangsa. Semboyan Bhinneka Tunggal Ika menjadi alat andalan pemerintah menavigasi pluralisme Indonesia. Namun, seberapa Bhinneka kah Republik Indonesia? Seberapa Tunggal pula bangsa kita ini? Bhinneka selalu diletakkan di depan, dahulu sebelum Tunggal. Pada praktiknya, mungkin selama ini Tunggal-lah yang diprioritaskan.

Budaya pada dasarnya adalah politik. Budaya adalah kuasa yang dapat mengontrol dan menguasai hampir seluruh aspek kehidupan individu dan komunitas. Saat Negara Kesatuan Republik Indonesia dibentuk, pada saat yang sama pula “Budaya Indonesia” mulai dibuat oleh para pendiri negara untuk mempertegas keberadaan Negara. Pembentukan dan penanaman nilai-nilai “Budaya Indonesia” dilakukan melalui pelbagai front. Pendidikan salah satunya.

Dalam sekolah-sekolah negeri, hanya satu bahasa yang diajarkan dan ditanamkan kepada siswa-siswi. Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Bahasa Indonesia, adalah bahasa persatuan, bahasa nasional. Sekilas, tujuan yang dipaparkan terlihat baik. Memberikan cara untuk seluruh Indonesia saling berkomunikasi. Dalam praktiknya, Bahasa Indonesia secara tidak langsung menyingkirkan keberadaan bahasa-bahasa tradisional. Bahasa-bahasa ini tidak diajarkan dalam sekolah-sekolah.

Dengan hilangnya suatu bahasa, turut hilang ilmu-ilmu dan kearifan lokal yang tersimpan dalam bahasa tersebut (Abdullah, 2015:67). Cara berpikir, nilai-nilai, dan tatanan sosial pun turut digerus seiring dengan hilangnya suatu bahasa. Tatanan yang sudah ada, digantikan dengan tatanan politik yang dibentuk dan didesain untuk dapat digunakan oleh Negara, dan di masa Orde Baru, ini berarti untuk kepentingan Pemerintah Pusat.

Masa Orde Baru adalah masa keemasan bagi pendirian “Budaya Indonesia”. Melalui penataran P4, ide-ide dan nilai-nilai “Indonesia” ditanamkan di kelas-kelas seluruh Indonesia (Suparlan, 2000:44, dalam Abdullah, 2015:66). Pada saat itu pula, sopan santun dan tatanan hidup yang tersimpan dalam bahasa-bahasa lokal, tergantikan oleh nilai-nilai “Indonesia”. Sekolah menjadi aktor politik, menjauhkan para pemuda dari akar-akar budayanya (Abdullah, 2015:67). Bahasa Melayu yang menjadi dasar Bahasa Indonesia (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa), perlahan menggeser dan menggusur bahasa-bahasa lokal yang semestinya dapat turut memperkaya Bahasa Indonesia. Tentunya, hal ini tidak terjadi begitu saja.

Dengan tergusurnya nilai-nilai, kelompok-kelompok berbagai aliran keagamaan dan kepercayaan pun turut terasingkan dari Negara yang pada masa itu hanya mengakui lima agama. Yang tidak memilih satu dari lima agama tersebut, berisiko dianggap komunis (Abdullah, 2015:68). Hilangnya agama-agama dan kepercayaan tradisional yang terjadi dengan cepat, menimbulkan konflik yang banyak dan berkepanjangan. Pluralisme yang ada seakan ditolak dengan cepat.

Agama menjadi pusat dari banyak konflik tersebut:

“Orang NU…mengeksklusi … Muhammadiyah. Orang Islam … mengeksklusi orang non-Muslim” (Arrani, 2002, dalam Abdullah, 2015:69)

Konflik-konflik inipun tak serta-merta hilang begitu saja. Dampaknya masih dapat dirasakan, dan tidak terkhususkan dalam konteks agama. Di daerah di mana pendatang mendominasi, penduduk yang sudah ada lebih dahulu pun melakukan perlawanan terhadap pendatang. Pendatang dianggap merampas sumber daya yang dianggap sebagai milik penduduk awal. Namun, dalam sebuah sistem kapitalis, tentu saja hal ini tidak diindahkan. Toh, pemerintah pusat telah memberi ijin. Tanah yang sebelumnya signifikan bagi ritual dan budaya penduduk asli, tak lebih dari sebuah unit kapital dalam dunia yang terglobalisasi dan masuk dalam pasar global. Identitas pun menjadi hal yang penting bagi penduduk untuk dipertahankan, dan rasa “terjajah” pun tumbuh di antara penduduk asal. Benih-benih konflik tumbuh, dan kemudian menunjukkan durinya. Aceh, Timor, Papua, hanya sedikit dari banyaknya konflik antara Negara-penduduk.

Di tengah konflik akibat pembentukan Negara, muncul pula ruang-ruang baru di mana dunia dan corak kebudayaan baru berkembang. Psike para pemuda, misalnya.

Terhubung dengan dunia, terpengaruh arus-arus media global, memiliki opininya sendiri namun peduli terhadap pendapat dunia kepadanya, adalah beberapa karakteristik kehidupan para pemuda. Gaya hidup mereka dibentuk dari apa yang mereka lihat dari media populer, namun “kaum muda” juga digunakan sebagai identitas dari hal-hal yang dianggap baru dan berbeda. Pembangkangan, penyimpangan, dan ketaatan pada waktu yang sama oleh kaum muda, membuat mereka memiliki peran yang unik dalam evolusi budaya. Nilai-nilai lokal dan global terus diuji dan dipadukan oleh para muda, tanpa mengenal batas-batas kesakralan. Enkulturasi dan dekulturasi berlangsung secara cepat dan kontinyu di antara para muda. Proses yang cepat ini membentuk budaya dan sub-budaya-sub-budaya baru. Proses ini pula yang membingkai ulang simbol-simbol kebudayaan yang sudah lama berdiri dan seakan tak berubah, gender dan seksualitas misalnya.

Sudah lama tertanam di mayoritas budaya-budaya di dunia, bahwa seakan perempuan akan selamanya menjadi sub-ordinat dari laki-laki. Media dan realita baru yang dikembangkan oleh kaum muda menantang kembali perspektif ini. Para perempuan muda berusaha untuk melukiskan citra mereka kembali di luar batasan-batasan yang ada, baik dari bagaimana mereka bekerja, hadir secara visual, bahkan bagaimana gender mereka didefinisikan dalam budaya.

Serangkaian perubahan-perubahan besar dalam budaya yang telah dipaparkan di atas, baik dari dasar-dasar budaya sampai ekspresi budaya tersebut, seakan memaksa adanya definisi ulang tentang bagaimana budaya dimaknai dan dibentuk. Simbol-simbol diredefinisi, makna diubah, aturan dilanggar dan dibuat. Perubahan tidak dapat dihentikan dan hanya akan semakin cepat. Dapat disimpulkan, bahwa budaya memanglah sesuatu yang tidak dibuat untuk didiamkan, melainkan untuk dimiliki dan dibentuk oleh masyarakat dan manusia-manusia yang ada di dalamnya.

Referensi

Abdullah, I. (2015). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arrani, A. (2002). Mlangi: Pluralitas, Konflik, Resistensi. Yogyakarta: LkiS.

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (n.d.). Sekilas Tentang Sejarah Bahasa Indonesia. Retrieved from Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/petunjuk_praktis/627/Sekilas%20Tentang%20Sejarah%20Bahasa%20Indonesia

Suparlan, P. (2000). Masyarakat Majemuk dan Perawatannya. Antropologi Indonesia I. Makassar.

--

--