Etnografi sebuah J.Co

Cornelius Prabhaswara
4 min readOct 17, 2021
sebuah kafe (Unsplash, Sincerely Media)

Etnografi ini sejatinya ditulis untuk tugas mata kuliah Komposisi dan Menulis Kreatif, Prodi S1 Antropologi Budaya UGM saya. Dengan tulisan ini, saya bertujuan memberikan kontekstualisasi bagaimana pendekatan antropologis — yaitu etnografi — dapat digunakan di setting urban perkotaan.

Deskripsi ini akan mendeskripsikan situasi sosial di sebuah J.Co di Bumi Serpong Damai, yang diobservasi jam pulang kantor, sekitar 19.30.

J.co ini berada di lokasi yang boleh dibilang ideal untuk sebuah kafe, yaitu di sebuah area perbelanjaan, The Breeze, yang terintegrasi dengan perkantoran BSD Green Office Park, yang dihuni oleh banyak perusahaan multinasional seperti Traveloka, Unilever, dan kampus Monash University Indonesia. Hal tersebut membuat The Breeze ramai dikunjungi pengunjung kelas menengah dan menengah ke atas, yang umumnya terlihat berusia 20–35 tahun dari pakaian, gaya, dan bahasa yang digunakan.

Sebagai sebuah perbelanjaan yang didesain dengan konsep natural, open, dan laid-back, sekitar saya terasa seperti taman kota dengan sedikit lebih banyak beton. Kebanyakan orang tidak seperti terburu-buru, melainkan kebanyakan mengenakan pakaian casual yang santai, seperti jins dan kaos, celana pendek, sandal jepit, rok panjang yang halus bermotif cerah, namun tetap didampingi beberapa aksesoris mahal, seperti jam tangan Gucci, tas Louis Vuitton, sepatu Nike, dan kain songket tenun yang digunakan seperti rok modern.

Mungkin karena kondisi yang setelah hujan pula, tidak terlalu banyak orang berlalu-lalai di tempat ini, dibandingkan hari-hari biasa yang penuh dan ramai oleh pekerja kantoran yang meeting, makan bersama, dan berpacaran. Tetap ada, sepasang-dua pasang yang berpacaran dan mengobrol dengan santai namun antusias, tapi tidak sebanyak biasanya, yang bisa memnuhi hampir semua kursi di kafe-kafe seperti Old Town, Starbucks, dan J.Co.

Melengkapi suasana malam Senin ini, pengeras suara memainkan beberapa lagu campur-campur, dari Bee Gees, ABBA, dan beberapa pemusik pop awal 2000-an lainnya. Lagu yang digunakan masih terasa familier bagi pengunjung yang umumnya milenial-Gen Z. Suasanya terasa sesuai sekali dengan arsitektur dan kesan lingkungan terbangun di The Breeze.

Meskipun berbentuk pusat perbelanjaan, The Breeze memiliki banyak sekali tanaman dan hewan yang terawat. Di setiap sisi bangunannya, ada elemen-elemen yang berkesan natural-industrial, seperti penggunaan pagar bertekstur kawat-kawat seperti pagar yang digunakan di peternakan, meja-kursi dibuat dari kayu dan menggunakan kain berwarna netral, serta jalan-jalan yang dicat berwarna alam, semakin memberikan kesan shopping in the nature, meskipun tentu saja ini masih di tengah kota dan bukan lingkungan yang alami.

Kembali soal suasana, di sekitar saya, kebanyakan orang tidak melakukan banyak aktivitas, selain bekerja di laptopnya (seperti saya), berfoto dekat kaca untuk feed instagram-nya, atau memilih-milih menu makanan dan minuman yang ingin dipesan. Secara bahasa dan tingkah laku, mereka menggunakan bahasa tubuh dan kata-kata yang umum digunakan oleh demografi dari generasi Z, seperti campuran bahasa Inggris dan Indonesia, sedikit bahasa yang dianggap kasar oleh generasi atas, dan sedikit pula bahasa-bahasa lokal seperti gue, elu, aing, maneh, I, you, papi, mami. Sepertinya, kondisi Jabodetabek yang metropolitan telah membentuk bahasa baru (yang sepertinya belum bisa dibilang creole tapi saya rasa bisa dianggap dialek) yang berbeda dari Bahasa Indonesia atau bahkan bahasa yang umum digunakan di Jakarta Pusat dan sekitarnya.

Saya sebenarnya selalu bingung, ketika memikirkan, apa yang membuat kafe-kafe menjadi tempat yang nyaman untuk bekerja, namun saya rasa suasana dan kondisi yang terbentuk dari keterikatan-lepas inilah yang terjadi.

Di kafe ini, semua orang secara tidak langsung terhubung melalui fasilitas, layanan, dan menu yang sama. Mereka dapat duduk dan menikmati tempat yang nyaman untuk bekerja, bertemu satu sama lain untuk membahas kerja, berpacaran, atau bahkan hanya bertemu teman lama. Dari kondisi ini, tercipta banyak interaksi sosial di waktu yang sama, yang semuanya berbeda tujuannya, namun di waktu yang sama membentuk sebuah suasana besar bagi yang berada di dalam lingkungan kafe tersebut, dimana noise atau suara kebisingan berada pada level yang cukup moderat dan menimbulkan white noise yang, bukan mengganggu, malah memberikan suasana yang kondusif untuk fokus dan mendukung otak bekerja dengan baik, serta produktif.

Jadi kalau boleh dibilang, J.Co (dan The Breeze, secara lebih luas) sebagai sebuah establishment, membentuk dan merubah perilaku pengunjungnya yang datang dengan berbagai kepentingan dan gaya bicara serta berpakaian, menjadi suasana yang unik, suasana kafe, yang kemudian diidentikkan dengan suasana J.Co.

Hal ini kemudian memunculkan sebuah proses produksi kultur yang unik, di mana orang akan pergi ke J.Co untuk mencari suasana J.Co, dan di waktu yang sama merekalah yang menciptakan suasana J.Co. Jadi, kalau boleh dibilang, institusi seperti J.Co mengkapitalisasi value yang tercipta dari pengunjungnya untuk menarik lebih banyak pengunjung, dan merubah kapital budaya tersebut (berupa suasana sosial) menjadi kapital moneter berupa penjualan produk yang lebih banyak.

--

--

Cornelius Prabhaswara

Education, opinions, information. A text-based portfolio.